Selasa, 31 Oktober 2017

Berbeda

“When there is a will, there is a way”

Sebuah kalimat yang sangat ingin aku percayai, agar aku terus berpikiran positif akan suatu harapan di masa depan. Seems makes me so excited to bite the bullet. Tapi hati-hati, semakin tinggi harapanmu, akan semakin sakit kalau kamu jatuh. Menurutku opini tersebut ada benarnya, karena aku membuktikannya hari ini.

Hari ini, aku menerima kabar kurang baik, bahwa ternyata aku tidak cukup mumpuni (dengan segala pertimbangan panitia) untuk dapat melanjutkan proses hiring CPNS di Kementrian Keuangan, yang sejatinya merupakan cita-cita yang sangat diidam-idamkan orang tua ku, khususnya ibu. Aku yakin semua orang tua pun begitu, orang tua manapun pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Terserah apa pendapatmu tapi yang aku rasakan saat ini faktanya adalah tidak seindah yang seharusnya.

Intermezzo: Hubunganku dengan keluarga bisa dibilang kurang harmonis. Khususnya dengan ibuku. Ibu selalu berdoa dan mengharapkan yang terbaik (yang kebanyakan menurut dunia juga adalah terbaik untuk sarjana ekonomi seperti aku) untukku. Aku dan ibu adalah makhluk ciptaan Allah yang dirancang terbalik 180 derajat. Menepis peribahasa “Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Terribly sorry, nggak berlaku buatku.

Ibu seperti kurang memahami bahwa yang terbaik untuk setiap orang itu berbeda, karena setiap orang memiliki kapasitasnya masing-masing. Ibu sangat terpukul dengan kegagalanku hari ini. Which is even more depressive than accepting my own failure! Aku mengerti, aku dan ibu dibesarkan dengan cara berbeda, dalam lingkungan yang berbeda pula. Sorry to say,menurutku ibu dibesarkan dalam lingkungan yang sempit, alhasil ibu tidak cukup bisa dikatakan berhasil meraih apa yang dicita-citakannya dalam hidupnya, jadi ibu menumpahkan itu semua kepadaku, berharap akulah yang akan melanjutkan cita-cita yang tak terwujud itu, ditambah lagi dengan kondisiku sekarang yang bisa dikatakan sedang dihujani musibah (FYI, aku sedang tidak dapat menggunakan kaki kananku untuk sementara karena suatu hal) ibu sangat ingin mempercayai ayat alquran yang berbunyi “Sesungguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan” ibu jadi sangat berharap bahwa seolah-olah apa yang dijanjikan Tuhan kami itu harusnya disini, harus di hiring CPNS ini. Sehingga harapannya sangat besar, dan hanya sedikit mempertimbangkan kemungkinan jatuh. Pernah suatu ketika, seorang teman menyemangati aku yang baru saja resign dari kantor lamaku, dan akan segera bekerja di kantor baru yang nggak se-wow kantor lama. Dia bilang “Tenang aja, orang tua itu nggak akan peduli berapa gajimu, yang penting kamu bahagia.” Dengan percaya diri aku pulang ke rumah dan memberi kabar tersebut kepada ibu, namun responnya sungguh diluar dugaan. Kalimat pertama yang keluar dari mulut ibu adalah “Berapa gajimu?” saat itu juga rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok dan menangis kepada temanku itu, mematahkan pernyataannya kapan hari, kamu salah. Atau keadaan yang salah, entahlah, yang kuingat itu adalah perasaan yang tidak ingin kurasakan lagi di kemudian hari.

Ibu adalah seorang penganut agama yang “taat” namun lagi-lagi hal itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki sudut pandang yang sempit. “Setelah kesulitan ada kemudahan.” Ayat yang dapat membawa vibes positif untuk diri kita agar kita bersemangat, sekaligus yang membuat ibu berharap terlalu tinggi, dan ia menjadi lengah dan seperti nggak sadar kalau selain itu ada ayat lain yang cukup kontras dengan ayat tersebut “Sesunggunya kamu tidak mengetahui, sedangkan Aku mengetahui." Ibu adalah orang yang taat pada agama, namun itu hanyalah citra yang biasa dinilai masyarakat dari apa yang terlihat. Buktinya, ibu tidak cukup bisa mengamalkan apa isi kitab yang setiap hari ia baca, karena ia hanya sekedar membaca saja. Mengkhawatirkan masa depan hanya karena gagal CPNS, seolah kalo nggak PNS nggak akan bisa sejahtera, meragukan pintu rezeki yg lain, menurutku itu sama saja dengan meragukan kekuasaan Allah. Bel, itu membuat aku ingin sekali pergi dari rumah ini, and live by my own. Sehingga ibu tidak harus tau apa yg sedang aku usahakan, agar aku tidak perlu memberinya harapan-harapan terlalu tinggi, Agar aku nggak perlu kebanyakan cing-cong, dan bisa bekerja dengan tenang, just prove it, dan itu akan menjadi kabar bahagia buat aku maupun ibu, there would be no drama.

Ibu adalah anak yang “cerdas” (dalam arti apa yang telah menjadi stereotip dunia, dengan indikator angka yang dapat dihitung) di sekolahnya dulu. I feel grateful for that, karena sejumlah penelitian mengatakan bahwa kecerdasan seorang anak adalah warisan dari ibunya. But then numbers will be (just) numbers, it wouldn’t help you that much, sayangnya kebanyakan dari kita nggak sadar kalau cuma ngandelin “cerdas” (yang diukur dengan angka itu) doang, sudah terbukti nggak akan cukup membuatmu bisa berdamai dengan kehidupan. Karena kehidupan nggak melulu soal pekerjaan dan uang doang.

Kemudian aku lebih bersyukur lagi karena aku tumbuh di lingkungan yang mendukungku, bahkan lebih dari apa yang telah ibu berikan kepadaku, Tuhan memberiku teman-teman yang luar biasa hebat. Di usia saat ini (22-25 yo) adalah usia dimana aku dan teman-teman sebayaku seharusnya memasuki masa-masa produktif. Dan mengikuti CPNS bagiku pribadi, tanpa mempertimbangkan apa yang dipahami masyarakat yang bisa jadi cenderung melebih-lebihkan, adalah salah satu kesempatan yang baik untuk menghidupi masa depan. Semua (well, nggak semua tapi cukup banyak) teman-temanku pun mengikuti CPNS. Belajar dan berjuang bersama, dengan cara sendiri-sendiri, rasanya nggak bisa diungkapkan dengan jelas melalui kata-kata. Mengetahui bahwa teman-temanku sedang belajar, membuatku ingin belajar juga. Dengan belajarku itu, sama sekali nggak pernah kuberharap agar nilaiku jauh melambung tinggi melebihi nilai teman-temanku. Pernah aku membaca suatu quote yang terdengar bijak berbunyi “Put your happiness in your own.” Sehingga kamu tidak akan dikecewakan manusia lain, oke itu ada benarnya, tapi sadar nggak? Kalau setiap orang itu berbeda, setiap orang itu unik. Dan kalau kupikir-pikir lagi, aku pun berbeda dengan quote yang kamu bilang wise itu.

Aku menaruh sebagian kebahagiaanku pada orang lain, sebagian dalam sebagian itu dimiliki oleh teman-temanku. Aku senang mendengar kabar baik dari teman-temanku, layaknya seorang ibu yang mendengar kabar baik dari anaknya. Itu menjadi kekuatan tersendiri yang tidak terduga dari mana datangnya, dan untuk menghadapi kegagalanku hari ini, itu banyak menolong aku agar tidak jatuh terlampau dalam. Sejujurnya aku merasa bahwa dalam keadaan kayak gini, teman-temanku jauh lebih bisa menolongku daripada ibu sendiri, terserah kamu mau nilainya gimana, mungkin sebagian dari kamu yang baca ini akan menganggapku sebagai anak yang lancang, durhaka dsb. Tapi sungguh, kamu tidak tahu dan tidak merasakan apa yang aku rasakan.

Suatu hari ibu menyarankan aku untuk meneruskan studi dan mengikuti program beasiswa, tapi saat itu aku sedang menikmati momen dimana aku bisa bernafas lega karena aku baru saja lulus S1 dan bisa dibilang sudah cukup bisa meneruskan hidup untuk kedepannya. Saat itu aku sangat bersyukur, bahwa aku sudah tidak usah belajar lagi. Saat itu, saran dari ibu kutolak mentah-mentah. Namun di kemudian hari setelah aku mencoba dunia kerja, aku merasa tersentil bahwa aku ini bukan apa-apa, bekal ilmu yang tadinya aku kira cukup ternyata masih jauh dari cukup, masih banyak hal yang ternyata aku nggak tau. Sehingga aku memutuskan untuk melanjutkan studi persis seperti apa yang dulu dibilang ibuku. Tapi hal itu berbeda, ini sekaligus membuktikan bahwa kamu adalah kamu. Orang lain hanya cameo, kadang berpengaruh tapi nggak se-powerful apa yang datang dari dirimu sendiri. 

Untuk itu, aku tidak terlalu bersedih hati akan kegagalanku hari ini, karena aku masih memiliki plan B, plan C, Plan E dst. Yang sudah kupikirkan sejak saat ini, yang akan kuusahakan mulai saat ini. Even better, aku memiliki teman-teman yang mempunyai visi misi yang sama denganku, didalam harapanku, terdapat sebagian untuk diri sendiri, dan sebagian untuk orang lain yg kebanyakan adalah teman-temanku yang selalu aku doakan agar kabar baik datang dari mereka, yang akan menjadi sumber kebahagiaanku jikalau bukan diriku sendiri yang bisa membuat aku bahagia, Kalian semua sudah seperti keluarga buatku, bahkan lebih kekeluargaan daripada keluargaku sendiri. Rasanya baru kali ini aku benar-benar meng-amin-kan doa yang biasa hanya diucapkan sebagai formalitas bagi seseorang di hari ulang tahunnya. Aku masih punya banyak rencana dan harapan, ya lord, aku nggak minta umur panjang tapi alangkah indahnya jikalau umur ini cukup untuk dapat menjadi saksi dari kebahagiaan tersebut.

Sekali lagi ini adalah blog pribadi, untuk menampung pendapat pribadiku sendiri yang tidak sejalan dengan stigma masyarakat yang menjunjung tinggi asas kekeluargaan.

“Home is where your heart is but what ashame cos everyone’s heart doesn’t be the same” – Greenday


Tidak ada komentar:

Posting Komentar