Dari kecil aku suka seni rupa. Literally karena ia terlihat enak dipandang, penilaianku hanyalah sekadar bagaimana wujudnya. Kalau ia terlihat bagus maka ia memiliki nilai yang tinggi, dan sebaliknya. Seperti guru sekolah dasar yang tidak memiliki spesialisasi pada mata pelajaran tertentu, nggak akan pernah ada seorang guru pun yang memiliki keahlian paripurna di seluruh mata pelajaran. Ia pun bukan penilai benda estetik yang pandai memaknai setiap goresan menjadi sebuah filosofi. Pengalaman itu termaafkan, dan telah menjadi hal yang lain untuk sekarang.
Aku mencintai setiap karyaku, ia adalah gambaran emosi, ia adalah postulat versi diri sendiri, ia hanya ada satu di dunia, dan ia adalah cermin yang sempurna untuk menjelaskan sistem tatanan kehidupan. Awal mula ia hanya berbentuk kanvas putih nan bersih, diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Kemudian kamu dapat membuat pilihan mengenai warna apa yang akan kamu goreskan diatasnya, ibarat memilih satu atau beberapa dari pelbagai pilihan hidup. Kamu akan langsung suka atau kamu dibuat sedih karena beberapa pilihan warna yang tidak pas, ibarat belajar, kamu melakukan suatu kebodohan. Tapi apabila kamu memberinya sedikit waktu hingga cat yang tampak kurang pas itu cukup mengering, maka kamu dapat memperbaikinya dengan menggoreskan warna baru diatasnya, ibarat memperbaiki diri sendiri, kita butuh waktu untuk bangkit dari keterpurukan.
Tidak semua orang mau memperbaiki kanvasnya yang telah terlanjur jelek. Kebanyakan orang memilih untuk menyerah dan membuangnya agar dapat melukis di kanvas yang baru dengan harapan tidak akan melakukan kesalahan yang sama pada kanvas yang baru. Mereka lupa bahwa jika mereka memiliki sedikit kerendahatian, memiliki sedikit lebih kesabaran untuk menunggu hingga ia siap menerima warna baru yang akan melengkapi warna yang sudah terlanjur jelek itu, memiliki sedikit tekad untuk memperbaiki, maka mereka tidak akan membutuhkan kanvas yang baru.
Dari hampir 24 tahun aku hidup, 20 tahun terakhir dipakai untuk menyukai seni, namun aku tidak pernah sungguh-sungguh menaruh perhatian khusus padanya, kemudian muncul dekadensi pemikiran bahwa "kenapa nggak dari dulu" aku bersungguh-sungguh, ketika sekarang aku benar-benar bisa melihat wujud karya yang aku cintai. Saat ini keadaannya lain, mindset nya jangan begitu. Sekarang masih 24 tahun, who knows kita dikasih umur panjang, tetaplah tekun, niscaya di tahun ke 50 tidak akan ada ruang untuk alasan "kenapa nggak dari dulu" tsb.
Aku mencintai setiap karyaku, betapapun ia tidak sempurna, namun ia adalah bukti sejarah pembuatnya. Saksi bisu atas segala kesabaran dan ketidaksabaran. Maksudku adalah ia dapat dengan sangat melatih kesabaran. Untuk membuat pola dari garis kecil dalam ruang 1 sentimeter persegi adalah kemungkinan tidak terbatas yang dapat dikerjakan dalam 1 menit, namun ketika dihadapkan pada kanvas dengan ukuran 40x60 sentimeter atau lebih besar, kemungkinan dengan rasa percaya diri yang tinggi itu berubah menjadi pelbagai alasan mengungkap keterbatasan, padahal ia tetaplah 1 sentimeter persegi yang tadinya dapat dengan manjur menghimpun rasa percaya diri pada calon eksekutornya, hanya saja jumlahnya banyak dan membutuhkan sedikit lebih banyak waktu, kalau kita mau sedikit lebih "bersabar". So, apa bedanya?