“When there is a will, there is a
way”
Sebuah kalimat yang sangat ingin
aku percayai, agar aku terus berpikiran positif akan suatu harapan di masa
depan. Seems makes me so excited to bite the bullet. Tapi hati-hati, semakin
tinggi harapanmu, akan semakin sakit kalau kamu jatuh. Menurutku opini tersebut
ada benarnya, karena aku membuktikannya hari ini.
Hari ini, aku menerima kabar
kurang baik, bahwa ternyata aku tidak cukup mumpuni (dengan segala pertimbangan
panitia) untuk dapat melanjutkan proses hiring CPNS di Kementrian Keuangan,
yang sejatinya merupakan cita-cita yang sangat diidam-idamkan orang tua ku,
khususnya ibu. Aku yakin semua orang tua pun begitu, orang tua manapun pasti
ingin yang terbaik untuk anaknya. Terserah apa pendapatmu tapi yang aku rasakan
saat ini faktanya adalah tidak seindah yang seharusnya.
Intermezzo: Hubunganku dengan
keluarga bisa dibilang kurang harmonis. Khususnya dengan ibuku. Ibu selalu berdoa
dan mengharapkan yang terbaik (yang kebanyakan menurut dunia juga adalah terbaik
untuk sarjana ekonomi seperti aku) untukku. Aku dan ibu adalah makhluk ciptaan
Allah yang dirancang terbalik 180 derajat. Menepis peribahasa “Buah tidak akan jatuh
jauh dari pohonnya.” Terribly sorry, nggak berlaku buatku.
Ibu seperti kurang memahami bahwa
yang terbaik untuk setiap orang itu berbeda, karena setiap orang memiliki
kapasitasnya masing-masing. Ibu sangat terpukul dengan kegagalanku hari ini. Which
is even more depressive than accepting my own failure! Aku mengerti, aku dan
ibu dibesarkan dengan cara berbeda, dalam lingkungan yang berbeda pula. Sorry
to say,menurutku ibu dibesarkan dalam lingkungan yang sempit, alhasil ibu tidak
cukup bisa dikatakan berhasil meraih apa yang dicita-citakannya dalam hidupnya,
jadi ibu menumpahkan itu semua kepadaku, berharap akulah yang akan melanjutkan
cita-cita yang tak terwujud itu, ditambah lagi dengan kondisiku sekarang yang
bisa dikatakan sedang dihujani musibah (FYI, aku sedang tidak dapat menggunakan
kaki kananku untuk sementara karena suatu hal) ibu sangat ingin mempercayai
ayat alquran yang berbunyi “Sesungguhnya setelah kesulitan, ada kemudahan” ibu
jadi sangat berharap bahwa seolah-olah apa yang dijanjikan Tuhan kami itu harusnya
disini, harus di hiring CPNS ini. Sehingga harapannya sangat besar, dan hanya
sedikit mempertimbangkan kemungkinan jatuh. Pernah suatu ketika, seorang teman menyemangati aku yang baru saja resign dari
kantor lamaku, dan akan segera bekerja di kantor baru yang nggak se-wow kantor lama. Dia bilang “Tenang aja, orang tua itu nggak akan peduli berapa gajimu,
yang penting kamu bahagia.” Dengan percaya diri aku pulang ke rumah dan memberi
kabar tersebut kepada ibu, namun responnya sungguh diluar dugaan. Kalimat
pertama yang keluar dari mulut ibu adalah “Berapa gajimu?” saat itu juga rasanya
aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok dan menangis kepada temanku itu, mematahkan pernyataannya kapan hari, kamu
salah. Atau keadaan yang salah, entahlah, yang kuingat itu adalah perasaan yang
tidak ingin kurasakan lagi di kemudian hari.
Ibu adalah seorang penganut agama
yang “taat” namun lagi-lagi hal itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki
sudut pandang yang sempit. “Setelah kesulitan ada kemudahan.” Ayat yang dapat membawa
vibes positif untuk diri kita agar kita bersemangat, sekaligus yang membuat ibu
berharap terlalu tinggi, dan ia menjadi lengah dan seperti nggak sadar kalau
selain itu ada ayat lain yang cukup kontras dengan ayat tersebut “Sesunggunya
kamu tidak mengetahui, sedangkan Aku mengetahui." Ibu adalah
orang yang taat pada agama, namun itu hanyalah citra yang biasa
dinilai masyarakat dari apa yang terlihat. Buktinya, ibu tidak cukup bisa
mengamalkan apa isi kitab yang setiap hari ia baca, karena ia hanya sekedar membaca
saja. Mengkhawatirkan masa depan hanya karena gagal CPNS, seolah kalo nggak PNS nggak akan bisa sejahtera, meragukan pintu rezeki yg lain, menurutku itu sama saja dengan meragukan kekuasaan Allah. Bel, itu membuat aku ingin sekali pergi dari rumah ini, and live by my own. Sehingga ibu tidak harus tau apa yg sedang aku usahakan, agar aku tidak perlu memberinya harapan-harapan terlalu tinggi, Agar aku nggak perlu kebanyakan cing-cong, dan bisa bekerja dengan tenang, just prove it, dan itu akan menjadi kabar bahagia buat aku maupun ibu, there would be no drama.
Ibu adalah anak yang “cerdas” (dalam
arti apa yang telah menjadi stereotip dunia, dengan indikator angka yang dapat
dihitung) di sekolahnya dulu. I feel grateful for that, karena sejumlah
penelitian mengatakan bahwa kecerdasan seorang anak adalah warisan dari ibunya.
But then numbers will be (just) numbers, it wouldn’t help you that much,
sayangnya kebanyakan dari kita nggak sadar kalau cuma ngandelin “cerdas” (yang
diukur dengan angka itu) doang, sudah terbukti nggak akan cukup membuatmu bisa
berdamai dengan kehidupan. Karena kehidupan nggak melulu soal pekerjaan dan uang doang.
Kemudian aku lebih bersyukur
lagi karena aku tumbuh di lingkungan yang mendukungku, bahkan lebih dari apa yang
telah ibu berikan kepadaku, Tuhan memberiku teman-teman yang luar biasa hebat. Di
usia saat ini (22-25 yo) adalah usia dimana aku dan teman-teman sebayaku seharusnya
memasuki masa-masa produktif. Dan mengikuti CPNS bagiku pribadi, tanpa
mempertimbangkan apa yang dipahami masyarakat yang bisa jadi cenderung
melebih-lebihkan, adalah salah satu kesempatan yang baik untuk menghidupi masa
depan. Semua (well, nggak semua tapi cukup banyak) teman-temanku pun mengikuti
CPNS. Belajar dan berjuang bersama, dengan cara sendiri-sendiri, rasanya nggak
bisa diungkapkan dengan jelas melalui kata-kata. Mengetahui bahwa teman-temanku
sedang belajar, membuatku ingin belajar juga. Dengan belajarku itu, sama sekali
nggak pernah kuberharap agar nilaiku jauh melambung tinggi melebihi nilai teman-temanku.
Pernah aku membaca suatu quote yang terdengar bijak berbunyi “Put your
happiness in your own.” Sehingga kamu tidak akan dikecewakan manusia lain, oke
itu ada benarnya, tapi sadar nggak? Kalau setiap orang itu berbeda, setiap
orang itu unik. Dan kalau kupikir-pikir lagi, aku pun berbeda dengan quote yang
kamu bilang wise itu.
Aku menaruh sebagian kebahagiaanku
pada orang lain, sebagian dalam sebagian itu dimiliki oleh teman-temanku. Aku
senang mendengar kabar baik dari teman-temanku, layaknya seorang ibu yang
mendengar kabar baik dari anaknya. Itu menjadi kekuatan tersendiri yang tidak
terduga dari mana datangnya, dan untuk menghadapi kegagalanku hari ini, itu
banyak menolong aku agar tidak jatuh terlampau dalam. Sejujurnya aku merasa
bahwa dalam keadaan kayak gini, teman-temanku jauh lebih bisa menolongku
daripada ibu sendiri, terserah kamu mau nilainya gimana, mungkin sebagian dari
kamu yang baca ini akan menganggapku sebagai anak yang lancang, durhaka dsb. Tapi
sungguh, kamu tidak tahu dan tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Suatu hari ibu menyarankan aku
untuk meneruskan studi dan mengikuti program beasiswa, tapi saat itu aku sedang
menikmati momen dimana aku bisa bernafas lega karena aku baru saja lulus S1 dan
bisa dibilang sudah cukup bisa meneruskan hidup untuk kedepannya. Saat itu aku sangat
bersyukur, bahwa aku sudah tidak usah belajar lagi. Saat itu, saran dari ibu
kutolak mentah-mentah. Namun di kemudian hari setelah aku mencoba dunia kerja,
aku merasa tersentil bahwa aku ini bukan apa-apa, bekal ilmu yang tadinya aku
kira cukup ternyata masih jauh dari cukup, masih banyak hal yang ternyata aku
nggak tau. Sehingga aku memutuskan untuk melanjutkan studi persis seperti apa
yang dulu dibilang ibuku. Tapi hal itu berbeda, ini sekaligus membuktikan bahwa
kamu adalah kamu. Orang lain hanya cameo, kadang berpengaruh tapi nggak se-powerful apa yang datang dari dirimu sendiri.
Untuk itu, aku tidak terlalu
bersedih hati akan kegagalanku hari ini, karena aku masih memiliki plan B, plan
C, Plan E dst. Yang sudah kupikirkan sejak saat ini, yang akan kuusahakan mulai
saat ini. Even better, aku memiliki teman-teman yang mempunyai visi misi yang
sama denganku, didalam harapanku, terdapat sebagian untuk diri sendiri, dan
sebagian untuk orang lain yg kebanyakan adalah teman-temanku yang selalu aku
doakan agar kabar baik datang dari mereka, yang akan menjadi sumber
kebahagiaanku jikalau bukan diriku sendiri yang bisa membuat aku bahagia, Kalian semua sudah seperti keluarga buatku, bahkan lebih kekeluargaan daripada keluargaku
sendiri. Rasanya baru kali ini aku benar-benar meng-amin-kan doa yang biasa hanya diucapkan sebagai formalitas bagi seseorang di hari ulang tahunnya. Aku masih punya banyak rencana dan harapan, ya lord, aku nggak minta umur panjang tapi alangkah indahnya jikalau umur ini cukup untuk dapat menjadi saksi dari kebahagiaan tersebut.
Sekali lagi ini adalah blog
pribadi, untuk menampung pendapat pribadiku sendiri yang tidak sejalan dengan
stigma masyarakat yang menjunjung tinggi asas kekeluargaan.
“Home is where your heart is but
what ashame cos everyone’s heart doesn’t be the same” – Greenday